Langsung ke konten utama

The Comfort Book

 

(sumber cover buku dari gramedia digital)

3.8/5⭐⭐⭐⭐

Aku mulai bacanya tanggal 19, waktu selesai baca Piggy. Btw aku sebenernya lagi baca Series Mata juga, tapi malah selingkuh sama buku ini. Gatau ya ini nanti mana dulu yang bakal kutamatin. (SOalnya aku nulis kalimat ini sebelum kedua buku itu selesai dibaca alias tanggal 19 nulisnya) (Aku seneng kalau lagi sedih soalnya jadi produktif baca dan nulis)

Setelah aku suka The Midnight Library, aku jadi penasaran buku Matt Haig yang lain. Jadi aku nemu rekomendasi buku ini dari litbase (Literary Base di twitter). Buku ini punya 276 halaman. Isinya di bagian awal buku sih pendek-pendek gitu. Tapi belum tahu nanti kebelakangnya. Soalnya pas nulis ini aku baru sampe halaman 21.

Ada kalimat bagus di bagian kata pengantar; “Rasanya seperti sebuah paradoks aneh, betapa banyak darri pelajaran hidup yang paling jelas dan paling menghibur itu malah didapat ketika kita sedang berada dalam kondisi paling terpuruk di dalam hidup.” Haduh ini penulis emang keren banget heran.

“Bagian yang paling tidak menyenangkan dalam setiap pengalaman adalah ketika kita merasakan bahwa rasanya sudah tidak kuat lagi.” -30

“Kita adalah diri kita yang lain di suatu titik di masa depan yang akan menoleh ke belakang dengan rasa syukur bahwa diri kita yang tersesat dan diri kita yang dahulu itu telah bertahan. Bertahanlah.” -31

“Ketika kita tidak kuasa berkata-kata, kita bisa menulis. Ketika kita tidak kuasa menulis, kita bisa membaca. Ketika kita tidak bisa membaca, kita dapat menyimak.” -37

“Terus menerus mencari makna hidup sama seperti mencari-cari apa arti roti panggang. Kadang-kadang lebih baik roti itu dimakan saja.” -49

“Namun, harapan itu khas karena dia susah matinya. Harapan berpotensi tetap bertahan bahkan dalam masa-masa paling berat.” -52 YA AMPUn pas baca ini langsung inget kalimat bagus yang kutulis di ulasan buku Piggy. (soalnya kan nulisnya baru tadi)

Jadi sepertinya, harapan itu sebetulnya emang ga bisa hilang. Dia cuma tersesat, dan pasti bakal balik lagi. Apa sih ya pokoknya gitu. Ini belum setengah buku tapi aku udah ngoceh banyak banget LOL.

(ini lanjutannya ditulis tgl 5 januari)

Setelah baca lebih jauh, ternyata aku nggak terlalu cocok baca buku kayak gini. Aku lebih suka baca buku cerita yang di dalamnya ada pesan moralnya. Kalau terang-terangan nasehat begini malah jadi ngantuk. (Tapi bukan berarti aku bilang kalau buku ini nggak bagus, NO)

Tentu saja buku ini worth to read. Aku dapet banyak kalimat menenangkan. Aku bisa menikmati buku ini ketika penulisnya kasih contoh cerita gitu, jadi ya lumayan lah. Bukunya bagus. Buktinya aku baca sampe tamat.

Setiap judul tulisannya sedikit, cuma beberapa paragraph gitu. Paling banyak mungkin 3-4 halaman kalau nggak salah. Jadi nggak terlalu membosankan.

“Hidup itu singkat. Jadilah orang baik.” -82

“Tidak ada yang lebih kuat daripada sekelumit harapan yang tidak menyerah.” -103

Lagi-lagi membahas tentang harapan selalu membangkitkan harapan

“Lebih mudah untuk membiasakan diri berbasah kuyup dan gembira ketimbang belajar menghentikan hujan.” -130

“Diam dan tersenyum bukanlah satu-satunya cara untuk menanggapi rasa sakit. Kadang-kadang ada gunanya melolong-lolong.” -138

“Momen paling dahsyat di dalam hidup adalah ketika kita memutuskan untuk tidak lagi merasa ketakutan.” -234

Banyak kalimat bagus lain di buku ini. Rasanya kayak dipeluk sambil dibisikin kalau nggak ada yang salah dari dirimu. Nggak ada yang salah jadi diri sendiri. Nggak ada yang salah dari merasa sedih. Pokoknya kamu nggak salah cuma karena kamu hidup dan bernapas. Kamu bisa melakukan banyak hal. Kamu bisa bahagia dengan apapun yang kamu mau. Dan terima kasih Matt Haig, yang sudah menulis buku penuh kalimat cantik ini.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Better Days (2019)

Aku nggak suka film happy ending. Aku suka film yang bisa bikin aku nangis se ember. Aku suka film yang bisa bikin aku terobrak abrik. Aku suka film yang bisa bikin aku hancur hahahah. Terakhir kali nonton film kayak gini yaitu film Monster (2023) itu film jepang. Sekarang aku abis nonton film china judulnya Better Days (2019). Aku sekarang jarang nulis tentang apa yang kurasakan setelah baca buku atau film. Tapi pengecualian buat buku atau film yang berhasil menghancurkanku :D. Di awal film emang udah ada semacam tulisan pengantar tentang bullying. Aku nggak ekspek apa-apa sama film ini karena aku nggak baca sinopsis atau cari tau trigger warning. Cuma modal satu editan di reels, ternyata filmnya bangsat banget. Aku merasa dunia sangat jahat. Pokoknya dunia ini JAHAT BANGET!!! Bodo amat aku mau spoiler alurnya. Ceritanya tuh ada anak perempuan yang meninggal karena bundir, dia gak kuat di bully. Terus ternyata setelah anak itu meninggal, sasaran bullying selanjutnya adalah Chen Nian.

You've Reached Sam

 3/5 ⭐ Aku tidak menaruh ekspektasi apa-apa sama buku ini. Covernya udah banyak aku lihat di mana-mana. Tapi baru punya kesempatan untuk bacanya sekarang. Aku baca juga karena ada salah satu mutualku yang baca juga, dan karena waktu itu bingung mau baca apa, jadi aku ikut baca juga dan kebetulan bisa langsung pinjam di Libby. Oke, jadi ternyata buku ini bercerita tentang kisah remaja bernama Julie dan Sam. Mereka sepasang kekasih, tapi mereka masih SMA. Terus suatu ketika ada kejadian yang membuat Sam ini kecelakaan dan meninggal. Sumpah aku ga terlalu memperhatikan bagian sinopsis, jadi agak kaget (ini bukan spoiler ya). Lalu entah bagaimana caranya, mereka terhubung lagi lewat telepon. Dan anehnya, telepon yang bisa digunakan cuma telepon milik Julie aja. Jadi Julie setiap hari telponan sama Sam. Apa aja masalahnya selalu dikasih tau ke pacarnya. Tapi jadinya Julie jadi susah move on, dan itu berbahaya. Sebenernya aku nggak terlalu nangis. Sedih, tapi aku nggak bisa relate. A

The Poppy War (Perang Opium)

    5/5⭐⭐⭐⭐⭐ Baiklah. Walaupun aku sedikit tidak siap, tapi aku tetep akan nulis. Mumpung masih inget dan semangat. (⚠️Spoiler warning!⚠️) Oke. The Poppy War adalah sebuah series trilogy dari penulis asal China, Rebecca F. Kuang. Buku yang kedua berjudul The Dragon Republic, dan yang ketiga adalah The Burning God. Awalnya, kupikir sampul buku versi Indonesia (yang terpampang di atas) itu adalah sampul asli dari buku aslinya. Ternyata nggak, ternyata sampul aslinya warna putih. Padahal selama ini aku mengenali The Poppy War dari sampulnya yang ini, yang terbakar, keren. Tapi sampul tuh nggak masalah, walaupun aku sebenarnya mau bilang kalau aku pribadi lebih suka sampul versi Indonesia hehe <3 Seperti biasa, dalam rangka menghemat pengeluaran, aku baca buku ini dari Gramedia digital. Jumlah halamannya 565. Iya. Aku serius. Dan tentu saja mataku pedes, kepalaku pusing. Tapi ya mau gimana lagi. Aku merasa ini worth it, gapapa uangnya bisa buat ditabung untuk beli buku kedua dan